Rabu, 09 September 2009

"piNraNg Fals Mania" (PFM)


diA mengerti akaN penderitaaN rakyaT miskiN, akaN korbaN peranG, pedindasaN yanG dilakukaN oleH oranG oranG yG kebaL hukuM terhadaP rakyaT jelatA diA tuangangkaN lewaT lagU walaupuN hukuM siap menghadanGnyA, diA adalaH ' IWAN FALS' ayO parA falS maniA gabunG di grouP ini.............

Berikut adalah seri perjalanan hidup Iwan Fals yang dirilis tabloid Bintang Indonesia.

Belajar Gitar, Ngamen, Hingga Rekaman

Aku lahir tanggal 3 September 1961. Kata ibuku, ketika aku berumur bulanan, setiap kali mendengar suara adzan magrib aku selalu menangis. Aku nggak tau kenapa sampai sekarang pun aku masih gambapng menangis. Biar begini-begini, aku orangnya lembut dan gampang tersentuh. Sebagai contoh, menyaksikan berita di televisi yang memberitakan ada orang sukses lalu medapatkan penghargaan atas prestasinya, aku pun bisa menangis. Melihat seorang ibu yang menunjukkan cinta kasihnya pada anaknya, juga bisa membuat aku tersentuh dan lalu menangis

Bicara perjalanan karir musikku, dimulai ketika aku aktif ngamen di Bandung. Aku mulai ngamen ketika berumur 13 tahun. Waktu itu aku masih SMP. Aku belajar main gitar dari teman teman nongkrongku. Kalau mereka main gitar aku suka memperhatikan. Tapi mau nanya malu. Suatu hari aku nekat memainkan gitar itu. Tapi malah senarnya putus. Aku dimarahi.

Sejak saat itu, gitar seperti terekam kuat dalam ingatanku. Kejadian itu begitu membekas dalam ingatanku.

Dulu aku pernah sekolah di Jedah, Arab Saudi, di KBRI selama 8 bulan. Kebetulan di sana ada saudara orang tuaku yang nggak punya anak. Karena tinggal di negeri orang, aku merasakan sangat membutuhkan hiburan. Hiburan satu-satunya bagiku adalah gitar yang kubawa dari Indonesia. Saat itu ada dua lagu yang selalu aku mainkan, yaitu Sepasang Mata Bola dan Waiya.

Waktu pulang dari Jeddah pas musim Haji. Kalau di pesawat orang-orang pada bawa air zam-zam, aku cuma menenteng gitar kesayaganku. Dalam perjalanan dalampesawat dari Jeddah ke Indonesia, pengetahuan gitarku bertambah. Melihat ada anak kecil baga gitar di pesawat, membuat seorang pramugari heran. Pramugari itu lalu menghampiriku dan meminjam gitarku. Tapi begitu baru akan memainkan, pramugari itu heran. Soalnya suara gitarku fals. "Kokkayak gini steman-nya?" tanyanya. Waktu itu, meski sudah bisa sedikit-sedikit aku memang belum bisa nyetem gitar. Setelah membetulka gitarku, premugari itu lalu mengajariku memainkan lagu Blowing in the Wind-nya Bob Dylan.

Waktu sekolah di SMP 5 Bandung aku juga punya pengalaman menarik dengan gitar. Suatu ketika, seorang guruku menanyakan apakah ada yang bisa memainkan gitar. Meski belum begitu pintar, tapi karena ada anak perempuan yang jago memainkan gitar, aku menawarkan diri. "Gengsi dong," pikirku waktu itu. Maka jadilah aku pemain gitar di vokal grup sekolahku.

Kegandrunganku pada gitar terus berlanjut. Saat itu teman-teman mainku juga suka memainkan gitar. Biasanya mereka memainkan lagu-lagu Rolling Stones. Melihat teman-temanku jago main gitar, aku jadi iri sendiri. Aku ingin main gitar seperti mereka. Daripada nggak diterima di pergaulan, sementaar aku nggak bisa memainkan lagu-lagu Rolling Stones, aku nekat memainkan laguku sendiri. Biar jelek-jelek, yang penting lagu ciptaanku sendiri, pikirku.

Untuk menarik perhatian teman-temanku, aku membuat lagu-lagu yang liriknya lucu, humor, bercanda-canda, merusak lagu orang. Mulailah teman-temanku pada ketawa mendengarkan laguku.

Setelah merasa bisa bikin lagu, apalagi bisa bikin orang tertawa, timbul keinginan untuk mencari pendengar lebih banyak. Kalau ada hajatan, kawinan, atau sunatan, aku datang untuk menyanyi. Dulu manajernya Engkos, yang tukang bengkel sepeda motor. Karena kerja di bengkel yang banyak didatangi orang, dia selalu tahu kalau ada orang yang punya hajatan.

Di SMP aku sudah merasakan betapa pengaruh musik begitu kuat. Mungkin karena aku nggak punya uang, nggak dikasih kendaraan dari orang tua untuk jalan-jalan, akhirnya perhatianku lebih banyak trcurah pada gitar. Sekolahku mulai nggak benar. Sering bolos, lalu pindah sekolah.

Aku merasakan gitar bisa menjawab kesepianku. Apalagi ketika sudah merasa bisa bikin lagu, dapat duit dari ngamen, mulailah aku sombong. Tetapi sesungguhnya semuanya itu kulakukan untuk mencari teman, agar diterima dalam pergaulan.

Suatu ketika ada orang datang ke Bandung dari Jakarta. Waktu itu kau baru sadar kalau ternyata lagu yang kuciptakan sudah terkenal di Jakarta. Maksudku sudah banyak anak muda yang memainkan laguku itu. Malah katanya ada yang menakui lagu ciptaanku.

Sebelum orang Jakarta yang punya kenalan produser itu datang ke Bandung, aku sebetulnya sudah pernah rekaman di Radio 8 EH. Aku bikin lagu lalu diputar di radio itu. Tapi radio itu kemudian dibredel.

Setelah kedatangan orang Jakarta itu, atas anjuran teman-temanku, aku pergi ke Jakarta. Waktu itu aku masih sekolah di SMAK BPK Bandung. Sebelum ke Jakarta aku menjual sepeda motorku untuk membuat master. Aku tidak sendirian. Aku bersama teman-teman dari Bandung: Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang tergabung dalam Amburadul.

Kami lalu rekaman. Ternyata kasetnya tidak laku. Ya, sudah, aku ngamen lagi, kadang-kadang ikut festival. Setelah dapat juara di festival musik country , aku ikut festival lagu humor. Kebetulan dapat nomor. Oleh Arwah Setiawan (almarhum) lagu-lagu humorku lalu direkam, diproduseri Handoko. Nama perusahaannya ABC Records. Aku rekaman ramai-ramai, sama Pepeng (kini pembawa acara kuis Jari-jari, jadi MC, dll), Krisna, dan Nana Krip. Tapi rekaman ini pun tak begitu sukses. Tetap minoritas. Hanya dikonsumsi kalangan tertentu saja, seperti anak-anak muda.

Akhirnya aku rekaman di Musica Studio. Sebelum ke Musica, aku sudah rekaman sekitar 4 sampai 5 album. Setelah rekaman di Musica itu, musikku mulai digarap lebih serius. Album Sarjana Muda, misalnya, musiknya ditangani Willy Soemantri.

Setelah tinggal di Jakarta dan masuk studio rekaman, aku masih tetap ngamen dari rumah ke rumah, kadang di Pasar Kaget, Blok M. Tapi setelah di Jakarta aku mulai mikir honor. Soal honor ini mau nggak mau jadi salah satu pemacu juga. Apalagi sebagai anak muda, aku juga butuh pacaran, butuh nonton. Ya, kebutuhan yang wajar bagi anak-anak mudalah.

Waktu itu namanya uang transport. Tapi kalau pas dadakan, biasana gratis. Aku ngamen nggak pilih-pilih tempat. Panggung hajatan, sunatan, nggak masalah. Lagu lagu yang kubawakan waktu ngamen biasanya lagu-lagu baru yang menceritakan masalah-masalah aktual yang terjadi di masyarakat.

Dulu jarang sekali pemusik memainkan lagu-lagu country. Apalagi main gitar sama harmonika sekaligus, jarang. Kalau melihat tanggapa penonton, aku raca cukup positif.

Kalau aku ngamen aku juga selalu nyanyi dengan riang gembira, meski syairnya sedih. Prinsipku, orang sedih kan boleh saja bergembira. Soalnya, dulu kalau aku membawakan lagu-lagu sedih, teman-temanku pada kabur semua.

Tanggapan untuk ngamen juga bertambah. Aku mulai diundang ke mana-mana. Mungkin karena pengaruh album Sarjana Muda (waktu itu album ini sangat terkenal. Semua lagunya selalu dinyanyikan anak-anak muda).

Waktu itu penghasilan dari ngamen saja per hari pernah sampai 20 ribu rupiah. Sebab orang yang kita datangi ngasih uangnya bukan untuk ngusir. Kalau dihitug sekarang barangkali nilainya sampai 300 ribu. Tapi, ya namanya ngamen, tentu penghasilannya tidak pasti. Kalau diambil rata-rata sehari sekitar dua ribu rupiah. Berarti sebulan bisa 60 ribu. Jumlah yang cukup lumayan untuk ukuran waktu itu, di awal tahun 1980-an.

Waktu itu orang nggak tahu siapa Iwan Fals. Meski sudah rekaman, dan kasetku lumayan sangat laku, tapi orang kebanyakan hanya tahu nama nggak kenal wajah. Mungkin karena aku nggak pernah masuk televisi (TVRI). Aku benar-benar stop ngamen setelah lahir anak keduaku, Cikal yang lahir tahun 1985.

Komentar :

ada 0 komentar ke “"piNraNg Fals Mania" (PFM)”

Posting Komentar

downloaD


Pengikut

L@ngngaNet oN facebooK

 

linK sahabaT

This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra